PKS Apresiasi Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, Soroti Peran Kritis dalam G30S
kabarsantai.web.id Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memberikan apresiasi terhadap keputusan pemerintah yang menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto.
Presiden PKS, Al Muzzammil Yusuf, menyatakan bahwa Soeharto memiliki kontribusi signifikan dalam mempertahankan keutuhan bangsa, terutama pada saat peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) yang nyaris mengguncang dasar negara.
Menurut Muzzammil, tanpa langkah tegas yang diambil Soeharto pada masa itu, Indonesia bisa saja kehilangan arah ideologis.
“Peran Pak Harto dalam peristiwa G30S/PKI sangat kritikal. Kalau saat itu kita kalah, mungkin sila pertama dalam Pancasila tidak lagi ada dalam kehidupan bernegara,” ujarnya di sela acara internal partai di Jakarta.
Ia menilai tindakan Soeharto yang mengambil alih komando setelah peristiwa tersebut merupakan keputusan strategis yang menyelamatkan stabilitas negara dari ancaman ideologi komunisme.
PKS, kata Muzzammil, memandang jasa besar tersebut sebagai salah satu alasan kuat pemberian gelar pahlawan nasional.
Reaksi dan Sikap PKS terhadap Kritik Publik
Meski memberikan apresiasi, Muzzammil juga mengakui bahwa keputusan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat.
Sebagian pihak menilai bahwa pengakuan tersebut perlu dikaji dari berbagai sisi, mengingat sejarah kepemimpinan Orde Baru juga diwarnai praktik pelanggaran hak asasi manusia, pembatasan kebebasan politik, serta dominasi militer dalam pemerintahan.
“PKS memahami kritik yang muncul. Kami tahu bahwa banyak luka sosial yang masih diingat masyarakat. Tapi, dalam konteks sejarah, tidak bisa dipungkiri bahwa Soeharto juga memiliki peran besar dalam menjaga Pancasila dan menstabilkan negara setelah gejolak 1965,” tambahnya.
PKS sendiri merupakan salah satu partai yang lahir pada masa reformasi — era yang muncul sebagai respons terhadap berakhirnya kekuasaan panjang Soeharto.
Karena itu, sikap PKS dinilai menarik, sebab partai ini berdiri di atas semangat perubahan pasca-Orde Baru, namun tetap berusaha melihat Soeharto dalam konteks sejarah yang lebih luas.
Gelar Pahlawan Nasional: Antara Pengakuan dan Kontroversi
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dilakukan bersamaan dengan beberapa tokoh lain, termasuk Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Marsinah, dan KH Ahmad Dahlan.
Langkah ini dinilai sebagai upaya pemerintah untuk menegaskan bahwa jasa seseorang dalam membangun bangsa dapat diakui, meski sejarah kepemimpinannya tidak lepas dari dinamika dan kritik.
Namun, keputusan ini tetap menimbulkan reaksi beragam.
Beberapa kalangan akademisi dan aktivis HAM menganggap pemberian gelar tersebut terlalu dini, karena belum ada rekonsiliasi nasional yang menyeluruh terkait peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa Orde Baru.
Sementara sebagian kelompok masyarakat lainnya berpendapat bahwa Soeharto layak mendapatkan pengakuan karena dedikasinya terhadap pembangunan nasional dan stabilitas ekonomi.
“Dalam sejarah panjang Indonesia, tidak ada pemimpin yang sepenuhnya tanpa cela. Namun, setiap periode punya tantangan dan kontribusi masing-masing. Penghargaan ini adalah bagian dari upaya menempatkan peran sejarah pada tempatnya,” ujar seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia.
Warisan Orde Baru dan Relevansi di Era Kini
Soeharto dikenal sebagai sosok yang membawa Indonesia memasuki era pembangunan ekonomi melalui program jangka panjang seperti Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dan kebijakan swasembada pangan.
Namun di sisi lain, pemerintahannya juga dikenal dengan kontrol ketat terhadap kebebasan pers, pembatasan oposisi politik, serta sentralisasi kekuasaan di tangan eksekutif.
Bagi PKS, warisan Soeharto harus dilihat dengan kacamata objektif.
Muzzammil menegaskan bahwa partainya tidak sedang melakukan glorifikasi terhadap masa lalu, melainkan mengakui peran strategis seorang tokoh dalam konteks sejarah nasional.
“Setiap generasi punya cara menilai pemimpinnya. Kami tidak menutup mata terhadap kekurangan beliau. Tapi ketika berbicara tentang ideologi Pancasila dan keutuhan negara, kita perlu menghargai peran besar yang telah menjaga bangsa dari ancaman perpecahan,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa pengakuan terhadap Soeharto bukan berarti melupakan penderitaan yang terjadi pada masa Orde Baru.
Sebaliknya, ini harus menjadi pengingat agar pemerintahan modern tidak mengulangi kesalahan masa lalu, baik dalam hal penyalahgunaan kekuasaan maupun pembatasan hak-hak warga negara.
Seruan PKS: Rekonsiliasi dan Evaluasi Sejarah Nasional
PKS mendorong agar momentum pemberian gelar pahlawan nasional dijadikan titik awal untuk rekonsiliasi sejarah bangsa.
Menurut Muzzammil, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu memaafkan tanpa melupakan, serta belajar dari masa lalu untuk menatap masa depan dengan lebih matang.
Ia menilai bahwa perdebatan mengenai Soeharto seharusnya menjadi ruang edukasi publik untuk memahami perjalanan sejarah Indonesia secara utuh — bukan hanya dari sisi politik, tetapi juga dari sudut pandang sosial dan budaya.
“Generasi muda harus mengenal sejarah secara lengkap, bukan hitam putih. Kita perlu belajar dari keberhasilan pembangunan Orde Baru sekaligus mengkritisi kelemahannya. Dari sanalah kematangan bangsa tumbuh,” tutup Muzzammil.
Penutup: Soeharto dalam Lintasan Waktu
Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto kini menjadi babak baru dalam cara bangsa Indonesia berdamai dengan masa lalunya.
Bagi sebagian orang, ini adalah bentuk pengakuan terhadap kontribusi nyata seorang pemimpin dalam menjaga negara di masa genting.
Bagi yang lain, ini menjadi pengingat akan pentingnya keadilan sejarah bagi korban politik dan pelanggaran HAM di masa lalu.
Sikap PKS memperlihatkan upaya untuk berdiri di tengah — menghargai jasa tanpa menafikan catatan kelam.
Apapun perdebatan yang muncul, satu hal pasti: perjalanan sejarah Indonesia selalu menuntut kita untuk bijak, adil, dan terbuka dalam menilai para tokohnya.

Cek Juga Artikel Dari Platform beritabumi.web.id
