Isu Silent Blue Code di Polri: IPW Minta Pembenahan Transparan dan Konsisten
kabarsantai.web.id Kasus besar yang menyeret mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo masih menyisakan banyak pekerjaan rumah di tubuh Kepolisian Republik Indonesia. Publik belum sepenuhnya melupakan bagaimana peristiwa pembunuhan terhadap Brigadir Yosua menjadi titik gelap yang menunjukkan adanya penyalahgunaan kewenangan di tingkat elite.
Kini, sorotan kembali mengarah ke internal Polri. Sejumlah pejabat yang dulu terseret dalam kasus Sambo, telah kembali aktif bertugas, bahkan mendapatkan promosi jabatan. Posisi-posisi strategis kembali ditempati oleh nama-nama yang sebelumnya menerima sanksi etik karena dianggap turut terlibat dalam rangkaian pelanggaran saat kasus tersebut bergulir.
Fenomena inilah yang kemudian dikritik oleh Indonesia Police Watch (IPW). Mereka menilai langkah tersebut berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian.
IPW Soroti Praktik Silent Blue Code
Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, menyebut praktik tersebut sebagai silent blue code, yakni budaya menutup pelanggaran di internal secara diam-diam dan memberikan jalan kembali bagi aparat yang bersalah untuk naik jabatan begitu isu publik mereda.
Menurutnya, pola seperti ini berbahaya karena memunculkan kesan bahwa pelanggaran hanya sementara ditindak saat sedang ramai di media. Ketika sorotan publik menurun, sanksi perlahan tidak dianggap penting lagi.
“Mereka disanksi ketika menjadi sorotan. Tetapi seiring waktu berlalu, publik tiba-tiba menemukan mereka sudah naik pangkat dan menduduki jabatan baru,” ujar Sugeng.
IPW menilai, praktik semacam ini justru menjadi simbol bahwa pelanggaran dapat “disembunyikan” dan karier tetap aman selama berada di lingkungan yang saling melindungi.
Dampak pada Kepercayaan Publik
Kepercayaan masyarakat terhadap Polri pernah mencapai titik terendah saat kasus Sambo mencuat. Pemulihan citra butuh komitmen konsisten, bukan hanya ketika kondisi sedang genting.
Jika aparat yang pernah dinyatakan melanggar etik kembali diberi posisi strategis tanpa transparansi proses rehabilitasi, masyarakat akan menganggap sanksi hanyalah formalitas. Muncul pandangan bahwa hukuman di internal Polri lebih bersifat seremonial daripada upaya pemulihan integritas.
Kepercayaan publik sangat krusial dalam tugas kepolisian. Tanpa dukungan masyarakat, sistem penegakan hukum dapat goyah. Karena itu, IPW menegaskan bahwa proses pembinaan dan pemberian jabatan harus dilakukan secara terbuka dan dapat diawasi oleh publik.
Reformasi Polri Masih Menjadi Agenda Besar
Kasus Sambo sempat menjadi momen besar untuk mereformasi kultur aparat penegak hukum. Desakan dari masyarakat dan lembaga pengawas membuat Polri melakukan penindakan internal secara cepat dan tegas pada saat itu.
Namun, IPW memperingatkan bahwa reformasi tidak boleh berhenti pada penindakan sesaat. Diperlukan perubahan sistemik yang mencegah munculnya kembali praktik saling melindungi di internal.
Ada beberapa hal yang ditekankan IPW:
- Evaluasi menyeluruh terhadap prosedur sanksi etik
- Transparansi kenaikan jabatan pasca-sanksi
- Pelibatan publik dalam pengawasan disiplin aparat
- Penguatan struktur pengawasan independen
Sugeng menegaskan, reformasi Polri harus memiliki kesinambungan, bukan sekadar respons terhadap krisis.
Harapan akan Penegakan Etik yang Tegas
Silent blue code bukan hanya soal kenaikan pangkat. Secara psikologis, pola ini menciptakan kultur negatif: pelanggaran dapat ditoleransi selama mampu bertahan dari sorotan publik. Hal ini jelas berlawanan dengan misi Polri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.
Sanksi harus memberikan efek jera, bukan sekadar “cuti jabatan sementara”. Ketika aparat yang pernah terlibat pelanggaran justru melangkah naik, maka sinyal yang diterima publik adalah pelemahan akuntabilitas.
Ke depan, Polri diharapkan menetapkan standar yang lebih keras, terutama pada kasus-kasus besar yang berkaitan dengan nyawa dan integritas lembaga. Penegakan etik tidak boleh tumpul ke dalam.
Keterbukaan Publik Sebagai Kunci Pemulihan
Salah satu langkah penting adalah membuka akses informasi mengenai proses rehabilitasi personel. Jika ada pejabat yang diberikan kembali mandat jabatan, harus ada penjelasan lengkap tentang penilaian kinerja, pemulihan moral, dan evaluasi tersurat yang menjadi dasar.
Dengan begitu, masyarakat dapat menilai bahwa keputusan tersebut diambil secara objektif, bukan berdasarkan kedekatan atau solidaritas korps.
Penguatan komunikasi publik juga diperlukan untuk mengurangi kesan bahwa Polri melakukan sesuatu di balik layar. Transparansi adalah pilar yang dapat mengembalikan kepercayaan secara perlahan namun pasti.
Kesimpulan: Reformasi Tidak Boleh Mandek
Sorotan IPW bukan sekadar kritik, tetapi ajakan untuk menjaga momentum perbaikan institusi. Kasus Sambo sudah menjadi sejarah kelam yang seharusnya menjadi pelajaran besar. Jangan sampai ia berubah menjadi contoh bahwa pelanggaran dapat dihapus begitu saja oleh waktu.
Polri memiliki peran penting dalam menjamin rasa aman masyarakat. Untuk menjalankan peran itu, integritas internal harus berdiri tegak — tanpa kompromi, tanpa perlindungan sesama, dan tanpa budaya silent blue code yang kembali menghantui.

Cek Juga Artikel Dari Platform medianews.web.id
