Dedi Mulyadi Tanggapi Santai Isu Pemotongan Dana Daerah
kabarsantai – Isu mengenai potensi pemotongan dana transfer daerah oleh pemerintah pusat memicu beragam reaksi dari kepala daerah dan tokoh politik. Namun, Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta sekaligus anggota DPR RI, menanggapi kabar tersebut dengan sikap santai namun realistis. Menurutnya, dinamika fiskal nasional memang menuntut daerah untuk lebih mandiri dalam mengelola anggaran dan sumber pendapatan.
Dedi menilai, langkah pemerintah pusat bukan semata pengurangan bantuan, melainkan dorongan agar daerah lebih kreatif mencari solusi ekonomi. Ia menyebutkan bahwa ketergantungan berlebihan terhadap dana pusat justru membuat pembangunan di daerah berjalan lambat dan tidak berkelanjutan.
1. Menyikapi dengan Kepala Dingin
Dedi Mulyadi tidak serta-merta memandang isu pemotongan dana daerah sebagai ancaman. Dalam pandangannya, hal itu merupakan ujian bagi pemerintah daerah untuk membuktikan kemampuan mengatur keuangan secara efisien.
“Jangan panik. Justru ini saatnya daerah memperkuat potensi ekonomi lokal. Jangan terus berharap dari pusat,” ujarnya dalam sebuah wawancara di Bandung.
Menurutnya, dengan kepala dingin dan perencanaan yang matang, pemerintah daerah tetap bisa menjaga pelayanan publik tanpa harus terpaku pada besaran dana transfer.
2. Ajakan untuk Mandiri Fiskal
Lebih lanjut, Dedi menekankan pentingnya kemandirian fiskal daerah. Ia menilai banyak daerah memiliki sumber daya besar, namun belum dikelola secara optimal.
Mulai dari sektor pertanian, pariwisata, hingga ekonomi kreatif, Dedi percaya bahwa setiap wilayah di Indonesia memiliki potensi yang bisa dikembangkan menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Kalau desa bisa bangkit lewat BUMDes, daerah juga bisa lewat inovasi kebijakan. Jangan tunggu dana datang, tapi ciptakan peluang dari kekuatan sendiri,” katanya.
3. Efisiensi dan Transparansi Jadi Kunci
Dedi juga mengingatkan bahwa salah satu tantangan utama dalam pengelolaan keuangan daerah adalah efisiensi dan transparansi.
Menurutnya, banyak dana pembangunan yang habis untuk biaya administratif atau kegiatan seremonial tanpa dampak langsung bagi masyarakat.
Ia mendorong agar pemerintah daerah menata ulang prioritas anggaran, memotong program yang tidak produktif, dan memperkuat pengawasan internal.
“Kalau uang sedikit tapi digunakan tepat, hasilnya bisa lebih besar daripada dana besar yang tidak terkelola,” tegasnya.
4. Dorong Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah
Meski menyerukan kemandirian, Dedi tetap menilai sinergi antara pusat dan daerah harus dijaga. Pemotongan dana, jika benar terjadi, menurutnya tidak boleh mengganggu program strategis yang bersentuhan langsung dengan kesejahteraan rakyat.
Ia berharap ada mekanisme komunikasi terbuka antara pemerintah daerah dan kementerian terkait agar kebijakan fiskal bisa berjalan adil dan terukur.
“Hubungan pusat dan daerah itu seperti orang tua dan anak. Kalau komunikasi baik, semua bisa diatasi tanpa perlu saling menyalahkan,” ujar politisi yang dikenal dengan gaya blusukannya itu.
5. Mengingatkan Soal Esensi Pelayanan Publik
Terakhir, Dedi mengingatkan bahwa apapun kebijakan fiskal yang terjadi, esensi utama pemerintah daerah adalah melayani masyarakat.
Ia menilai terlalu banyak pejabat daerah sibuk memikirkan anggaran tanpa fokus pada solusi kreatif di lapangan.
“Kalau dana terbatas, justru kreativitas diuji. Gunakan gotong royong, libatkan masyarakat, manfaatkan teknologi digital untuk efisiensi,” katanya.
Bagi Dedi, pelayanan publik yang baik tidak selalu bergantung pada besar kecilnya dana, tetapi pada komitmen dan inovasi.
Penutup
Sikap santai namun tegas Dedi Mulyadi mencerminkan cara pandang realistis terhadap dinamika hubungan fiskal pusat dan daerah. Di tengah wacana pemotongan dana, ia justru melihat peluang untuk memperkuat otonomi dan kreativitas lokal.
Dalam perspektifnya, kemandirian bukan hanya soal finansial, tetapi juga keberanian daerah untuk berdiri di atas kekuatan sendiri — membangun dari bawah, dengan semangat efisiensi dan gotong royong sebagai fondasi utama.

