Warga Aceh Tamiang Bertahan 8 Hari Tanpa Bantuan Pemerintah, Hanya Mengandalkan Solidaritas Sesama
kabarsantai.web.id Bencana banjir yang menerjang Aceh Tamiang meninggalkan cerita pilu tentang perjuangan masyarakat mempertahankan hidup. Banjir yang begitu besar menghancurkan pemukiman, memutus akses jalan, dan mengisolasi banyak keluarga di wilayah pedalaman. Di tengah keterbatasan logistik dan hilangnya jaringan komunikasi, warga terpaksa bertahan hanya dengan mengandalkan solidaritas satu sama lain.
Salah satu kisah datang dari Darussalam, warga Desa Sungai Liput, Kecamatan Kejuruan Muda. Bersama istri dan empat anaknya, ia harus menghadapi detik‐detik menegangkan ketika air banjir mulai naik dengan kecepatan yang tak terbayangkan. Meski rumah mereka berada di dataran yang lebih tinggi, gelombang air yang datang justru menenggelamkan halaman dan bagian dalam rumah.
“Waktu itu air tiba-tiba naik, deras sekali. Tetangga yang rumahnya lebih rendah berlarian mencari tempat aman, mereka naik ke halaman rumah kami. Tapi lama-lama, air juga menutup semua,” tutur istrinya, Mahyuni, sambil mengenang suasana panik yang terjadi pada dini hari tersebut.
Tidak ingin mengambil risiko kehilangan nyawa, keluarga itu segera meninggalkan rumah menuju tanah yang lebih tinggi lagi. Dalam gelap malam, mereka hanya mengandalkan langkah kaki dan harapan untuk menemukan tempat yang cukup aman dari ketinggian air.
Banjir Menyapu Semua Aset Kehidupan
Banjir bukan hanya merusak fisik bangunan, tetapi juga menghapus sumber penghidupan masyarakat. Rumah, sawah, ternak, hingga barang-barang kebutuhan sehari-hari tersapu dalam hitungan jam. Air yang mengalir membawa lumpur tebal, merusak fasilitas desa dan menyisakan pemandangan yang sulit dipercaya: desa seperti ditelan oleh lautan cokelat.
Kisah Darussalam dan keluarganya hanyalah satu dari ratusan cerita warga lain yang mengalami hal serupa. Banyak di antara mereka tidak sempat menyelamatkan makanan, pakaian, maupun dokumen penting. Begitu gelombang banjir datang, keselamatan jiwa menjadi satu-satunya prioritas.
Bertahan Hidup Tanpa Bantuan Pemerintah
Yang membuat situasi semakin berat adalah tidak adanya bantuan pemerintah selama delapan hari setelah banjir menerjang. Warga yang terjebak di titik-titik terisolir hanya saling menolong dengan apa yang mereka miliki. Mereka berbagi air minum yang tersisa, makanan darurat yang masih ada, hingga pakaian kering untuk anak-anak.
Darussalam menceritakan bahwa setiap hari mereka menahan lapar dan haus sambil menunggu kemungkinan datangnya pertolongan. Hanya ketika air perlahan surut, barulah sebagian warga dapat mencari bahan makanan yang mungkin masih bisa ditemukan di sekitar lokasi.
Dalam situasi seperti itu, gotong royong menjadi penyelamat. Warga saling menguatkan satu sama lain, memastikan tidak ada yang ditinggalkan. Di tengah trauma dan kecemasan, semangat kebersamaan menjadi kekuatan bertahan dari hari ke hari.
Akses Jalan Putus, Bantuan Tak Bisa Masuk
Kerusakan infrastruktur menjadi alasan mengapa bantuan resmi tidak cepat tiba. Jalan menuju Desa Sungai Liput terputus total karena tergerus air banjir dan tertimbun longsoran. Fasilitas komunikasi pun ikut mati, membuat desa seolah hilang dari peta.
Tanpa akses kendaraan, tim penyelamat dan distribusi bantuan tidak bisa masuk menggunakan jalur biasa. Satu-satunya harapan hanyalah jika air cukup surut sehingga jalur darat bisa kembali dilalui atau jika bantuan dikirim lewat jalur sungai.
Di hari-hari awal, warga hanya bisa memandang ke arah jalan yang runtuh dengan harapan suatu saat ada tim penyelamat muncul dari kejauhan.
Tekanan Psikologis Dialami Pengungsi
Dampak nonfisik dari bencana ini tak kalah berat. Ketidakpastian nasib, rasa takut akan banjir susulan, hingga suara gemuruh air membuat warga—terutama anak-anak—mengalami tekanan psikologis.
Malam hari menjadi saat terburuk. Tidak ada penerangan, udara dingin menusuk, dan suara hewan liar semakin sering terdengar. Ketegangan begitu terasa, terutama ketika hujan kembali turun.
Para orang tua berusaha menenangkan anak-anak sambil menahan ketakutan mereka sendiri. Situasi ini berlangsung berhari-hari, tanpa ada kepastian kapan kondisi akan membaik.
Solidaritas Warga Jadi Harapan
Meski terjebak dalam situasi sulit, warga menunjukkan bahwa kebersamaan merupakan senjata terkuat dalam menghadapi bencana. Mereka membentuk kelompok kecil untuk mengatur kebutuhan:
- Satu kelompok mencari bahan makanan yang mungkin masih tersisa
- Kelompok lain menjaga titik aman agar tidak ada warga yang terjatuh ke aliran air deras
- Para ibu memasak apa pun yang ada untuk dibagikan bersama
Di tengah segala keterbatasan, mereka membuktikan bahwa warga bantu warga masih menjadi pondasi terkuat ketika negara belum sempat hadir.
Menanti Kepastian Pemulihan
Kini setelah beberapa wilayah mulai dapat dijangkau, harapan mulai tumbuh. Warga menunggu langkah nyata pemerintah untuk:
- Memulihkan akses jalan
- Menyalurkan logistik secara merata
- Menyediakan tempat tinggal sementara
- Memberikan bantuan psikososial
- Memastikan anak-anak tetap bisa makan dan sehat
Perjuangan delapan hari tanpa bantuan formal tidak mudah dilupakan. Banjir bukan hanya meninggalkan kerusakan fisik, tetapi juga luka emosional yang butuh waktu untuk pulih.
Penutup
Kisah warga Aceh Tamiang adalah gambaran tentang ketahanan dan solidaritas masyarakat dalam menghadapi krisis. Di saat bantuan belum tiba, mereka bertahan bukan karena memiliki banyak, tetapi karena saling berbagi.
Musibah ini menjadi pengingat bahwa respons bencana harus cepat dan tepat agar tidak ada warga yang menjadi korban kelaparan atau rasa takut berkepanjangan. Pemerintah diharapkan lebih sigap, sementara masyarakat setempat terus menguatkan satu sama lain untuk bangkit setelah gelombang besar berlalu.

Cek Juga Artikel Dari Platform rumahjurnal.online
