Anak Muda Papua Harus Jadi Pelindung Alam, Bukan Korban Eksploitasi
kabarsantai.web.id Hutan Papua selalu menjadi simbol kekayaan dan jantung kehidupan bagi masyarakat adat. Namun, di balik hijaunya pepohonan dan megahnya gunung-gunung di Tanah Cenderawasih, tersimpan ancaman yang nyata: eksploitasi sumber daya alam yang terus meningkat. Dalam situasi ini, muncul satu seruan penting yang menggema dari berbagai kalangan — anak muda Papua harus menjadi pelindung alam, bukan korban dari arus eksploitasi.
Yayasan Bentara Papua menjadi salah satu lembaga yang mengambil langkah konkret untuk mewujudkan hal tersebut. Melalui program pendampingan di tiga wilayah utama, yakni Pegunungan Arfak, Sorong Selatan, dan Raja Ampat, mereka membangun kapasitas generasi muda agar memiliki kesadaran ekologis, kemandirian ekonomi, dan kebanggaan terhadap identitas adatnya.
Menumbuhkan Kesadaran dari Akar Rumput
Dalam sebuah wawancara di Salawati, Direktur Yayasan Bentara Papua, Yunes Magdalena Bonay, menegaskan bahwa masa depan hutan dan masyarakat adat Papua sangat bergantung pada generasi muda. Ia menjelaskan, banyak anak muda yang lahir dan tumbuh di tengah alam Papua, namun belum sepenuhnya memahami betapa pentingnya peran mereka dalam menjaga warisan tersebut.
“Kami percaya masa depan hutan dan masyarakat adat Papua ada di tangan generasi muda. Karena itu, Bentara Papua membangun program yang mendorong anak-anak muda menjadi pelindung alam, bukan korban pergaulan bebas atau arus eksploitasi sumber daya alam,” ujar Yunes.
Menurutnya, pendidikan lingkungan yang berbasis adat adalah cara paling efektif untuk membangun kesadaran ekologis. Anak-anak muda tidak hanya diajak belajar tentang pohon, tanah, dan air, tetapi juga memahami nilai-nilai kearifan lokal yang telah diwariskan oleh para leluhur mereka selama berabad-abad.
Dari Penonton Menjadi Pelaku Perubahan
Program Bentara Papua bukan sekadar sosialisasi, melainkan pendampingan jangka panjang yang menghubungkan pengetahuan tradisional dengan pendekatan modern. Di Pegunungan Arfak, misalnya, para peserta diajak memetakan wilayah adat mereka menggunakan teknologi GPS agar bisa melindungi batas tanah dari klaim perusahaan.
Di Sorong Selatan, anak-anak muda belajar mengelola hasil hutan non-kayu seperti madu, buah merah, dan gaharu secara berkelanjutan. Sementara di Raja Ampat, mereka dilatih mengembangkan pariwisata berbasis konservasi yang tidak merusak ekosistem laut.
“Harapan kami sederhana tapi besar—mereka bisa menemukan jati diri, melihat potensi yang mereka punya, dan berperan aktif menjaga tanah dan hutan mereka sendiri,” tambah Yunes.
Ia percaya bahwa pemberdayaan generasi muda adalah kunci untuk memutus rantai eksploitasi. Banyak anak muda Papua yang sebelumnya terlibat dalam aktivitas penebangan ilegal atau bekerja untuk perusahaan tambang karena faktor ekonomi. Melalui pendidikan dan dukungan komunitas, mereka kini mulai beralih menjadi penggerak konservasi yang berdaya secara ekonomi tanpa harus merusak lingkungan.
Tantangan dan Harapan di Tengah Arus Eksploitasi
Meski berbagai program telah berjalan, Yunes mengakui bahwa tantangan masih besar. Tekanan ekonomi, rendahnya akses pendidikan, dan pengaruh gaya hidup modern seringkali membuat anak muda kehilangan arah.
“Banyak anak muda yang tergoda dengan kemudahan uang dari perusahaan besar atau aktivitas ilegal. Tapi jika mereka punya pengetahuan, mereka bisa menolak dengan bijak dan mencari jalan lain yang lebih bermartabat,” ujarnya.
Bentara Papua berupaya membangun ruang aman bagi anak-anak muda agar bisa berdiskusi, berkreasi, dan saling belajar. Mereka diajak untuk memahami hubungan spiritual antara manusia dan alam, sebagaimana termaktub dalam filosofi adat Papua: “Tanah adalah ibu, hutan adalah pelindung, dan air adalah kehidupan.”
Dalam banyak kesempatan, Yunes juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan komunitas adat harus saling mendukung agar generasi muda memiliki fondasi yang kuat untuk menjadi agen perubahan.
Generasi Baru Penjaga Alam Papua
Salah satu contoh keberhasilan program ini datang dari Distrik Mare di Sorong Selatan. Sejumlah anak muda di sana berhasil membentuk kelompok usaha berbasis hasil hutan non-kayu. Mereka mengolah madu hutan, membuat sabun alami, dan memasarkan produk mereka secara digital. Hasilnya tidak hanya meningkatkan ekonomi keluarga, tetapi juga mendorong masyarakat sekitar untuk melestarikan hutan karena kini mereka melihat nilai ekonomi dari menjaga, bukan menebang.
“Kalau dulu kami hanya melihat hutan sebagai tempat mencari kayu, sekarang kami melihatnya sebagai sumber kehidupan yang harus dijaga,” ungkap salah satu peserta program.
Kisah seperti ini menjadi bukti bahwa perubahan nyata bisa terjadi ketika anak muda diberi ruang dan kepercayaan. Semangat mereka menjadi energi baru bagi gerakan pelestarian alam Papua yang selama ini kerap menghadapi tekanan dari eksploitasi besar-besaran.
Menjaga Alam, Menjaga Masa Depan
Papua bukan hanya milik orang yang hidup hari ini, tapi juga milik generasi yang akan datang. Anak muda memiliki peran penting untuk memastikan bahwa hutan, sungai, dan laut tetap lestari bagi kehidupan di masa depan.
Bentara Papua ingin agar setiap pemuda menyadari bahwa menjadi pelindung alam bukanlah pilihan, melainkan tanggung jawab. Dengan memahami nilai tanah leluhur dan potensi besar yang terkandung di dalamnya, mereka bisa menjadi benteng terakhir melawan eksploitasi yang merugikan masyarakat adat.
“Kalau anak muda Papua mencintai alamnya, masa depan kita akan aman,” tutup Yunes penuh harap.
Kini, langkah kecil mereka di Pegunungan Arfak, Sorong Selatan, dan Raja Ampat menjadi simbol kebangkitan baru: generasi muda Papua yang tidak hanya bangga dengan identitasnya, tetapi juga berani berdiri sebagai penjaga terakhir bumi Cenderawasih.

Cek Juga Artikel Dari Platform cctvjalanan.web.id
