Kabar Duka: Raja Kasunanan Surakarta Paku Buwono XIII Wafat, Warisan Budaya dan Kepemimpinan Abadi
kabarsantai.web.id Kabar duka menyelimuti dunia kebudayaan Jawa. Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Sri Susuhunan Paku Buwono XIII Hangabehi, dikabarkan wafat.
Informasi ini disampaikan langsung oleh adik kandungnya, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Puger, yang membenarkan berita tersebut kepada awak media.
“Inggih mas, niki wau kulo angsal kabar. Cobi njenengan teng kraton mawon,” ujar KGPH Puger, membenarkan kabar duka yang datang dari dalam lingkungan keraton.
Selain dari keluarga, Ketua Eksekutif Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta Hadiningrat, Kanjeng Pangeran Haryo Eddy Wirabhumi, juga mengonfirmasi berita tersebut.
Menurutnya, seluruh abdi dalem, kerabat, serta masyarakat Surakarta kini tengah berduka atas berpulangnya raja yang dikenal sebagai sosok bijaksana itu.
“Kabar ini datang mendadak. Semua pihak di lingkungan keraton kini sedang bersiap untuk upacara adat,” ujar Eddy.
Sosok Raja yang Menjaga Warisan Leluhur
Paku Buwono XIII dikenal sebagai pemimpin yang berupaya menjaga keutuhan Kasunanan Surakarta Hadiningrat di tengah tantangan modernisasi.
Dalam masa kepemimpinannya, ia dikenal tekun membina hubungan baik dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat dan daerah, demi memastikan keberlangsungan nilai-nilai budaya Jawa.
Sebagai raja, PB XIII menghadapi periode yang penuh dinamika, terutama terkait dualisme kepemimpinan di internal keraton.
Namun, di tengah perbedaan itu, ia tetap menunjukkan sikap tenang, mengedepankan dialog dan kebijaksanaan ala seorang pemimpin Jawa sejati.
“Beliau adalah sosok yang selalu mengutamakan perdamaian dan keharmonisan,” kata salah satu abdi dalem senior Keraton Surakarta.
Perjalanan Panjang Seorang Pemimpin Tradisional
Lahir dari garis keturunan langsung raja-raja Mataram, Paku Buwono XIII merupakan penerus tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat, salah satu kerajaan pewaris tradisi Jawa yang masih eksis hingga kini.
Sebagai raja, ia memegang gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono XIII Hangabehi.
Sepanjang masa kepemimpinannya, ia aktif melestarikan seni tari, gamelan, dan adat Jawa klasik.
Ia juga mendorong pengembangan pariwisata budaya melalui kegiatan kirab pusaka, sekaten, serta upacara grebeg yang menjadi daya tarik wisatawan lokal dan mancanegara.
Bagi masyarakat Solo, sosok PB XIII bukan hanya pemimpin spiritual dan adat, melainkan juga simbol pengikat budaya dan identitas Jawa.
Keberadaannya menjadi jembatan antara masa lalu yang penuh nilai leluhur dan masa kini yang serba modern.
Reaksi dari Lingkungan Keraton dan Masyarakat
Begitu kabar kepergian PB XIII tersebar, suasana di sekitar Keraton Surakarta Hadiningrat langsung berubah haru.
Para abdi dalem berdatangan ke kompleks keraton untuk ikut serta dalam persiapan upacara adat pemakaman raja.
Bendera pusaka di area keraton dikibarkan setengah tiang sebagai tanda duka cita mendalam.
Masyarakat sekitar pun turut berdatangan untuk mengirim doa dan penghormatan terakhir kepada sang raja.
“Bagi kami, beliau bukan hanya raja, tapi juga bapak spiritual masyarakat Solo,” ujar salah satu warga Baluwarti.
Sejumlah tokoh masyarakat dan pejabat daerah juga menyampaikan belasungkawa, termasuk pejabat Pemerintah Kota Surakarta dan Gubernur Jawa Tengah.
Mereka menilai PB XIII adalah figur penting dalam menjaga harmoni sosial dan kebudayaan lokal di tengah perubahan zaman.
Makna dan Warisan Kepemimpinan Paku Buwono XIII
Warisan terbesar PB XIII tidak hanya berupa bangunan fisik keraton atau koleksi pusaka, melainkan juga semangat pelestarian nilai-nilai luhur budaya Jawa.
Selama kepemimpinannya, ia berulang kali menegaskan pentingnya menjaga harmoni antara tradisi dan modernitas.
Dalam berbagai kesempatan, PB XIII menekankan bahwa kemajuan teknologi dan modernisasi tidak boleh mengikis nilai-nilai moral dan spiritual masyarakat Jawa.
Ia sering mengingatkan generasi muda untuk tetap berpegang pada falsafah hidup “hamemayu hayuning bawana” — memperindah dan menjaga keseimbangan dunia.
“Keraton bukan sekadar tempat tinggal raja, tapi sumber nilai-nilai kebajikan yang harus dijaga dan diwariskan,” tutur PB XIII dalam salah satu pidatonya.
Filosofi tersebut kini menjadi pegangan bagi banyak tokoh adat dan generasi penerus yang terlibat dalam pelestarian kebudayaan Jawa.
Rencana Upacara Adat dan Penghormatan Terakhir
Lembaga Dewan Adat (LDA) dan keluarga besar keraton telah menyiapkan prosesi adat untuk penghormatan terakhir kepada PB XIII.
Sesuai tradisi, jenazah raja akan disemayamkan di kompleks keraton sebelum dimakamkan di Astana Imogiri, tempat peristirahatan para raja Mataram.
Seluruh rangkaian upacara akan dilakukan dengan tata cara adat Kasunanan yang ketat, melibatkan ratusan abdi dalem, prajurit keraton, serta perwakilan masyarakat.
Selain itu, akan digelar pula doa bersama dan pembacaan tahlil di Masjid Agung Surakarta.
“Kami ingin memberikan penghormatan terakhir yang layak untuk beliau. Semua prosesi akan dilakukan dengan penuh hormat dan khidmat,” ujar KPH Eddy Wirabhumi.
Masa Depan Keraton Surakarta Pasca Wafatnya Raja
Kepergian PB XIII tentu meninggalkan kekosongan kepemimpinan di lingkungan Kasunanan Surakarta.
Meski demikian, pihak keraton memastikan roda tradisi dan kegiatan adat tetap berjalan seperti biasa.
Beberapa sumber internal menyebutkan bahwa Dewan Adat akan segera mengadakan pertemuan untuk membahas mekanisme suksesi dan penentuan penerus tahta.
Proses ini akan dilakukan secara hati-hati agar tetap menjaga keharmonisan internal dan tidak menimbulkan polemik di masyarakat.
Para pengamat budaya menilai, wafatnya PB XIII menjadi momentum penting bagi keraton untuk memperkuat rekonsiliasi internal.
Selain itu, kesempatan ini juga bisa menjadi awal baru dalam memperkuat peran keraton sebagai penjaga identitas budaya Jawa di masa depan.
Penutup
Kepergian Paku Buwono XIII Hangabehi meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat Surakarta dan seluruh pecinta budaya Jawa.
Beliau dikenal sebagai raja yang rendah hati, bijaksana, serta memiliki kepedulian besar terhadap pelestarian warisan leluhur.
Meski raganya telah tiada, nilai-nilai dan ajarannya akan terus hidup di hati rakyatnya.
Dalam kenangan masyarakat, PB XIII bukan hanya pemimpin keraton, tetapi juga simbol keagungan budaya Jawa yang tak lekang oleh waktu.
“Beliau telah pergi, tapi warisan kebijaksanaannya akan tetap abadi di tanah Surakarta,” ujar salah satu sesepuh keraton dengan mata berkaca-kaca.

Cek Juga Artikel Dari Platform beritabandar.com
