Kejati Sulsel Setujui Restorative Justice KDRT Bulukumba
Pendekatan Humanis Kejaksaan dalam Penegakan Hukum
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan kembali menunjukkan komitmennya dalam menerapkan penegakan hukum yang berorientasi pada nilai kemanusiaan. Melalui mekanisme Restorative Justice (RJ), Kejati Sulsel menyetujui penghentian penuntutan perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi di Kabupaten Bulukumba.
Persetujuan tersebut diberikan setelah mempertimbangkan aspek hukum, sosial, dan kondisi khusus korban yang tengah mengandung. Langkah ini menegaskan bahwa hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat penghukuman, tetapi juga sebagai sarana pemulihan dan perlindungan terhadap pihak yang rentan.
Keputusan ini diambil melalui ekspose perkara yang dipimpin langsung oleh Kepala Kejati Sulsel, Dr. Didik Farkhan Alisyahdi, didampingi Wakajati Sulsel Prihatin, Aspidum Teguh Suhendro, serta jajaran bidang Pidana Umum Kejati Sulsel.
Kronologi Singkat Perkara KDRT di Bulukumba
Perkara tersebut melibatkan tersangka berinisial A alias I (23 tahun) dan korban IS (24 tahun), yang merupakan pasangan suami istri. Tersangka disangkakan melanggar Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kasus bermula dari konflik rumah tangga yang dipicu rasa cemburu. Pelaku mendapati isi pesan singkat di ponsel korban yang menimbulkan kecurigaan. Pertengkaran verbal kemudian berubah menjadi kekerasan fisik.
Peristiwa tersebut dilaporkan dan diproses sesuai prosedur hukum. Namun, dalam perkembangan penanganan perkara, terungkap fakta penting yang menjadi pertimbangan utama pemberian RJ.
Korban Hamil Delapan Bulan Jadi Pertimbangan Utama
Salah satu faktor paling krusial dalam perkara ini adalah kondisi korban yang tengah hamil delapan bulan. Korban dijadwalkan melahirkan pada Januari 2026 dan membutuhkan pendampingan intensif dari suami.
Dalam proses mediasi, korban secara sadar dan tanpa tekanan menyatakan memberikan maaf kepada tersangka. Keputusan tersebut diambil demi keutuhan rumah tangga serta kepentingan terbaik bagi calon bayi.
Korban juga menyampaikan keinginannya agar tersangka dapat mendampingi proses persalinan dan menjalankan peran sebagai kepala keluarga. Sikap korban ini menjadi poin penting dalam penilaian kelayakan restorative justice.
Syarat Restorative Justice Terpenuhi
Kejati Sulsel menilai perkara ini telah memenuhi seluruh ketentuan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Beberapa syarat utama yang dipenuhi antara lain:
- Pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana dan bukan residivis.
- Ancaman pidana di bawah lima tahun penjara.
- Adanya kesepakatan damai tanpa syarat antara korban dan tersangka.
- Pertimbangan kemanusiaan yang mendesak, yakni kondisi korban yang sedang hamil.
- Dukungan keluarga dan masyarakat sekitar terhadap penyelesaian secara kekeluargaan.
Dengan terpenuhinya seluruh unsur tersebut, penghentian penuntutan dinilai sah secara hukum dan tepat secara sosial.
Sanksi Sosial sebagai Bentuk Pertanggungjawaban
Meskipun penuntutan dihentikan, tersangka tetap diberikan sanksi sosial sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas perbuatannya. Tersangka diwajibkan melakukan kegiatan sosial berupa pembersihan Masjid Dusun Buhung Tellue, Desa Bonto Minasa, Kecamatan Bulukumpa.
Kegiatan tersebut harus dijalankan selama satu bulan penuh dan berada dalam pengawasan aparat setempat. Sanksi ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab, penyesalan, serta komitmen perubahan perilaku.
Pesan Tegas Kajati Sulsel
Dalam arahannya, Kajati Sulsel Dr. Didik Farkhan Alisyahdi menegaskan bahwa keputusan RJ ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
“Restorative Justice bukan pembenaran terhadap KDRT. Ini adalah solusi hukum yang mempertimbangkan keselamatan ibu dan calon bayi, serta pemulihan keluarga,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan tersangka agar tidak mengulangi perbuatannya dan benar-benar memanfaatkan kesempatan yang diberikan untuk memperbaiki diri.
Kajati menekankan bahwa hukum harus hadir sebagai instrumen perlindungan, terutama bagi perempuan dan anak, tanpa mengabaikan prinsip keadilan dan kemanusiaan.
Komitmen Zero Transaksional Tetap Dijaga
Wakajati Sulsel Prihatin turut mengingatkan jajaran Kejari Bulukumba agar seluruh proses administrasi RJ diselesaikan secara cepat, transparan, dan akuntabel.
Ia menegaskan kembali prinsip zero transaksional dalam setiap pelaksanaan keadilan restoratif. Tidak boleh ada kompromi terhadap integritas institusi Kejaksaan.
Penyelesaian perkara ini juga diminta segera dilaporkan kepada pimpinan setelah tersangka resmi dibebaskan dari tahanan.
Restorative Justice sebagai Wajah Hukum Modern
Kasus KDRT di Bulukumba ini menjadi contoh bagaimana Restorative Justice dapat diterapkan secara selektif, hati-hati, dan bertanggung jawab.
Pendekatan ini tidak menghilangkan aspek hukum, tetapi menempatkan kepentingan korban, anak, dan masa depan keluarga sebagai prioritas utama.
Melalui kebijakan ini, Kejati Sulsel kembali menegaskan posisinya sebagai institusi penegak hukum yang adaptif terhadap dinamika sosial, namun tetap teguh menjaga marwah hukum.
Ke depan, penerapan RJ diharapkan terus menjadi solusi alternatif yang adil, beradab, dan berorientasi pada pemulihan, tanpa mengurangi efek jera dan tanggung jawab pelaku.
Baca Juga : Jamintel Tegaskan Integritas Kejaksaan Jelang Akhir Tahun
Jangan Lewatkan Info Penting Dari : beritabandar

