Istri Sekda Ponorogo yang Kena OTT KPK Dilantik Jadi Kepala OPD, Bupati dan Ketua Panselnya Suami Sendiri
kabarsantai.web.id Pemerintah Kabupaten Ponorogo tengah menjadi pusat perhatian nasional. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko dan Sekretaris Daerah (Sekda) Agus Pramono sebagai tersangka usai operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan di wilayah setempat.
Dalam operasi itu, penyidik KPK juga mengamankan Direktur RSUD dr Harjono, dr Yunus Mahatma, serta seorang rekanan proyek bernama Sucipto.
Penetapan tersangka ini menandai babak baru dalam penyelidikan dugaan suap dan pengaturan proyek infrastruktur kesehatan daerah. KPK menduga adanya praktik suap yang melibatkan pejabat tinggi di lingkungan Pemkab Ponorogo. Sejumlah dokumen dan barang bukti uang tunai dalam jumlah signifikan telah disita dari lokasi OTT.
Namun, perhatian publik tak hanya tertuju pada kasus tersebut. Beberapa hari setelah operasi itu, muncul fakta mengejutkan: istri Sekda Agus Pramono yang kini berstatus tersangka justru dilantik sebagai Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Pelantikan yang Mengundang Tanda Tanya Publik
Pelantikan pejabat baru tersebut digelar secara resmi oleh Bupati Sugiri Sancoko sebelum dirinya ditetapkan sebagai tersangka.
Yang lebih mengundang sorotan, ketua panitia seleksi (pansel) pejabat OPD adalah Agus Pramono, suami dari pejabat yang dilantik.
Situasi ini langsung memicu gelombang kritik dari masyarakat sipil, lembaga antikorupsi daerah, hingga kalangan akademisi. Mereka menilai adanya konflik kepentingan serius dalam proses pengangkatan jabatan tersebut.
Seorang pengamat kebijakan publik dari Universitas Muhammadiyah Ponorogo menilai bahwa pelantikan ini menunjukkan lemahnya sistem integritas birokrasi daerah.
“Bagaimana mungkin seseorang bisa menjabat kepala OPD ketika suaminya adalah pejabat tinggi yang menjadi ketua pansel dan kini berstatus tersangka korupsi? Ini preseden buruk bagi reformasi birokrasi,” katanya.
Menurutnya, pelantikan seperti itu berpotensi melanggar prinsip merit system dalam birokrasi yang seharusnya menjamin transparansi, kompetensi, dan objektivitas dalam seleksi jabatan publik.
Dugaan Konflik Kepentingan dan Etika Pemerintahan
Fakta bahwa Bupati dan Sekda yang menjadi tersangka justru terlibat dalam pelantikan pejabat baru dari lingkaran keluarga memperlihatkan adanya pelanggaran etika tata kelola pemerintahan.
Selain aspek hukum, kasus ini menyoroti budaya birokrasi di daerah yang masih sarat dengan praktik nepotisme terselubung.
Dalam dokumen seleksi pejabat OPD yang beredar, nama istri Sekda muncul sebagai salah satu kandidat dengan nilai tertinggi. Namun, sumber internal Pemkab mengakui bahwa penilaian tersebut tidak sepenuhnya objektif.
“Ada tekanan dari pimpinan agar prosesnya dipercepat dan hasilnya sesuai keinginan,” ujar salah satu pejabat yang enggan disebutkan namanya.
Kondisi itu memperkuat dugaan publik bahwa penempatan pejabat di lingkungan Pemkab Ponorogo lebih didorong oleh kedekatan personal daripada kompetensi profesional.
Respons KPK dan Pemerhati Antikorupsi
KPK telah mengonfirmasi bahwa pihaknya akan menelusuri seluruh rangkaian kebijakan yang melibatkan para tersangka, termasuk pelantikan istri Sekda.
Juru Bicara KPK menyatakan bahwa lembaga antirasuah akan memeriksa kemungkinan abuse of power dan potensi penyalahgunaan jabatan dalam proses seleksi pejabat daerah.
“Setiap kebijakan yang dilakukan setelah adanya indikasi transaksi suap bisa menjadi bagian dari penyelidikan lanjutan. Kami akan memeriksa dokumen pelantikan dan alur rekomendasi pejabat terkait,” tegasnya.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut kasus ini sebagai cermin lemahnya pengawasan internal pemerintah daerah.
Menurut ICW, pelantikan yang sarat konflik kepentingan seperti ini hanya memperburuk kepercayaan publik terhadap komitmen antikorupsi pemerintah daerah.
“Kalau pejabat yang memiliki hubungan keluarga langsung bisa mengatur promosi jabatan di instansinya, itu tanda lampu merah bagi reformasi birokrasi,” ujar peneliti ICW bagian tata kelola publik.
Gelombang Kritik dari Masyarakat dan Pegawai Pemkab
Selain kritik dari lembaga nasional, gelombang protes juga datang dari kalangan pegawai Pemkab Ponorogo sendiri.
Beberapa ASN menyampaikan keluhan secara anonim bahwa praktik nepotisme membuat semangat kerja menurun.
“Mau kerja sebaik apa pun, kalau bukan orang dekat pejabat, sulit naik jabatan,” ujar seorang staf di Dinas Kesehatan.
Di media sosial, warganet menyoroti pelantikan tersebut sebagai bukti bahwa reformasi birokrasi di daerah belum berjalan. Tagar #PonorogoTransparan bahkan sempat trending di media sosial lokal.
Banyak yang mendesak Kementerian Dalam Negeri turun tangan untuk mengevaluasi kinerja Bupati dan jajaran ASN yang terlibat.
Desakan publik itu juga diarahkan kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) agar menelusuri proses seleksi pejabat yang dinilai cacat etik dan administratif.
Penutup: Bayang-Bayang Nepotisme di Pemerintahan Daerah
Kasus di Ponorogo menambah panjang daftar praktik nepotisme di birokrasi Indonesia.
Ketika hukum berupaya menindak korupsi, moralitas pejabat publik justru kembali diuji melalui tindakan-tindakan yang melanggar etika pemerintahan.
Pelantikan istri Sekda oleh Bupati yang sama-sama tersangka korupsi menjadi simbol betapa reformasi birokrasi belum benar-benar menyentuh akar permasalahan kekuasaan lokal.
Di tengah upaya pemerintah pusat membangun integritas ASN, praktik semacam ini bisa menjadi bom waktu bagi kredibilitas institusi publik.
Jika penegakan etika dan hukum berjalan konsisten, kasus Ponorogo seharusnya menjadi momentum untuk menata ulang sistem seleksi pejabat daerah — bukan hanya berdasarkan kelayakan administratif, tetapi juga integritas moral dan rekam jejak pribadi.
Karena pada akhirnya, keberhasilan pemerintahan daerah tidak hanya diukur dari pembangunan fisik, tetapi dari kemampuan pemimpinnya menjaga kepercayaan rakyat terhadap keadilan dan kejujuran dalam birokrasi.

Cek Juga Artikel Dari Platform outfit.web.id
