Konsultan Hukum Buka Suara Soal Isu Cek Mahar Palsu
kabarsantai – Isu cek mahar palsu yang sempat menghebohkan media sosial kini mulai menemui titik terang. Setelah beredar berbagai spekulasi dan opini publik, seorang konsultan hukum ternama akhirnya angkat bicara untuk meluruskan persoalan yang disebut-sebut melibatkan figur publik tersebut. Dalam keterangannya, sang konsultan menegaskan bahwa perkara ini tidak sesederhana dugaan masyarakat dan memerlukan pembuktian hukum yang jelas.
1. Awal Mula Isu Cek Mahar Palsu
Kasus ini mencuat setelah beredarnya video pendek di media sosial yang memperlihatkan seseorang menyerahkan sebuah cek bernilai fantastis sebagai mahar pernikahan. Namun, beberapa hari kemudian, muncul tudingan bahwa cek tersebut tidak memiliki nilai sah alias palsu. Publik pun ramai membicarakan keaslian dokumen tersebut dan mempertanyakan niat di balik pemberian mahar yang diduga tidak valid.
Spekulasi pun bermunculan, mulai dari dugaan pencitraan hingga pelanggaran hukum. Sejumlah pihak bahkan meminta agar kepolisian turun tangan untuk menyelidiki keabsahan cek tersebut.
2. Pernyataan Konsultan Hukum: “Perlu Bukti, Bukan Sekadar Dugaan”
Menanggapi isu yang berkembang, konsultan hukum yang enggan disebut namanya menyebut bahwa dugaan pemalsuan cek tidak bisa hanya didasarkan pada opini publik atau penilaian sepihak. Menurutnya, cek dianggap sah apabila memenuhi syarat formal dan material sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
“Kalau cek itu benar diterbitkan oleh lembaga keuangan resmi dan ditandatangani sesuai prosedur, maka tidak bisa serta-merta dikatakan palsu. Tapi jika ternyata tidak ada rekening sumber dana atau tanda tangan tidak sah, baru bisa masuk ranah pidana,” ujarnya.
Ia menambahkan, pihak-pihak yang merasa dirugikan sebaiknya melapor ke kepolisian agar dilakukan verifikasi melalui bank penerbit. Tanpa laporan resmi dan pemeriksaan ahli, kata dia, isu ini akan tetap menjadi perdebatan di ranah publik tanpa kepastian hukum.
3. Potensi Jerat Hukum Jika Terbukti Palsu
Konsultan hukum tersebut menjelaskan, apabila benar terbukti ada unsur pemalsuan dokumen perbankan, maka pelaku dapat dijerat dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, dengan ancaman hukuman hingga enam tahun penjara.
Selain itu, jika tindakan tersebut dilakukan untuk memperdaya atau menipu pihak lain — misalnya untuk mendapatkan keuntungan finansial atau popularitas — maka bisa juga dijerat dengan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Namun, jika yang terjadi hanyalah kesalahan administratif atau mispersepsi tanpa niat menipu, maka kasus ini kemungkinan besar hanya akan diselesaikan secara perdata atau melalui mediasi antar pihak.
4. Pandangan Publik dan Respons Pihak Terkait
Meski belum ada konfirmasi resmi dari pihak yang disebut-sebut terlibat dalam kasus ini, publik di media sosial terus memperdebatkan kebenaran kabar tersebut. Beberapa figur publik ikut berkomentar, ada yang menyindir, ada pula yang menyerukan agar masyarakat tidak langsung menuduh sebelum ada bukti sah.
Pihak yang dikaitkan dengan video itu pun sempat memberi pernyataan singkat bahwa “semua yang diberikan sah secara hukum dan tidak ada yang dipalsukan.” Namun hingga kini, belum ada dokumen atau klarifikasi resmi dari pihak bank yang disebut sebagai penerbit cek tersebut.
Sementara itu, para penggemar dan warganet terbelah menjadi dua kubu — sebagian percaya bahwa isu ini hanyalah kesalahpahaman, sementara lainnya menduga ada unsur rekayasa atau pencitraan.
5. Seruan Transparansi dan Klarifikasi Publik
Menurut konsultan hukum, cara terbaik untuk menyelesaikan polemik ini adalah dengan membuka data secara transparan. Jika benar ada cek yang digunakan sebagai mahar, maka perlu ditunjukkan bukti penerbitan dari bank dan keabsahan tanda tangan pihak yang memberikan.
“Langkah paling elegan adalah klarifikasi terbuka dengan bukti resmi. Ini bukan sekadar masalah reputasi pribadi, tetapi juga menyangkut kepercayaan publik terhadap institusi keuangan,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa penggunaan simbol keuangan dalam acara pribadi seperti pernikahan harus dilakukan dengan hati-hati. “Mahar itu sakral, jangan sampai dicampur dengan hal-hal yang bisa menimbulkan masalah hukum,” tambahnya.
Kesimpulan
Kasus cek mahar palsu ini menunjukkan bagaimana isu pribadi bisa berkembang luas menjadi persoalan hukum dan sosial. Meski publik terus berspekulasi, para ahli hukum menegaskan pentingnya menunggu hasil verifikasi resmi agar tidak menimbulkan fitnah atau kesalahpahaman.
Di tengah derasnya arus informasi digital, kasus ini menjadi pengingat bahwa setiap klaim — terutama yang melibatkan dokumen keuangan — harus dibuktikan secara sah di hadapan hukum, bukan hanya di ruang komentar media sosial.

